Dua puluh tujuh tahun berlalu sejak reformasi 1998, namun luka sejarah itu belum sepenuhnya sembuh. Di jalanan Jakarta, Yogyakarta, hingga Makassar, sempat terdengar gema serupa: kerumunan massa, poster tuntutan, dan pekik amarah yang mirip dengan fragmen reformasi yang pernah membakar rezim. Kali ini, mungkin tanpa darah sebanyak dahulu, tetapi bayangannya tetap menakutkan. Luka belum lenyap, dan ’98 seperti kembali dengan senyap, namun nyata. Sepuluh Korban, Sepuluh Luka Baru Kabar duka datang cepat. Sepuluh korban jatuh dalam aksi massa pekan lalu. Tidak semua karena peluru atau gas air mata; sebagian karena sesak, sebagian terjatuh, dan ada yang semata karena panik. Namun, angka sepuluh itu sudah cukup menjadi pengingat: amarah yang tak terkelola, bisa berujung nyawa. Di sisi lain, pernyataan duka dari pejabat negara terdengar hambar, bahkan tanpa kata maaf. “Kami berduka, tapi massa harus waspada pada provokator dalang asing,” begitu kira-kira narasinya. Kalimat yang seakan rut...
Haeril dan temannya Haeril Anwar (27) punya cara unik dalam menjalani studi magister di Ilmu Komunikasi. Di saat sebagian mahasiswa lain berkutat dengan tumpukan literatur dan rasa waswas menghadapi jadwal bimbingan, ia justru rajin berlari di lintasan pelariannya. “Minimal sekali seminggu,” ujarnya sambil tersenyum, menceritakan hobi yang sudah jadi rutinitasnya. Bagi Haeril, lari bukan sekadar olahraga, tetapi juga latihan menjaga ritme termasuk saat menyusun proposal tesis. Dari Track ke Teks Bagi Haeril, ada kesamaan antara menuntaskan lintasan lari dan menulis proposal. Keduanya butuh pace. “Kalau lari terlalu cepat di awal, bisa habis tenaga di tengah jalan. Sama dengan nulis, kalau buru-buru, revisinya bisa lebih banyak,” katanya. Filosofi ini membuatnya terbiasa mencicil pekerjaan, menjaga konsistensi, dan tidak panik ketika tenggat semakin dekat. Ritme itu terbukti efektif. Hanya dalam waktu dua pekan, draf proposalnya rampung. Sepekan berikutnya ia menuntaskan urusan admin...