Langsung ke konten utama

Berpacu di Lintasan, Jaga Pace di Proposal

Haeril dan temannya

Haeril Anwar (27) punya cara unik dalam menjalani studi magister di Ilmu Komunikasi. Di saat sebagian mahasiswa lain berkutat dengan tumpukan literatur dan rasa waswas menghadapi jadwal bimbingan, ia justru rajin berlari di lintasan pelariannya. “Minimal sekali seminggu,” ujarnya sambil tersenyum, menceritakan hobi yang sudah jadi rutinitasnya. Bagi Haeril, lari bukan sekadar olahraga, tetapi juga latihan menjaga ritme termasuk saat menyusun proposal tesis.

Dari Track ke Teks

Bagi Haeril, ada kesamaan antara menuntaskan lintasan lari dan menulis proposal. Keduanya butuh pace. “Kalau lari terlalu cepat di awal, bisa habis tenaga di tengah jalan. Sama dengan nulis, kalau buru-buru, revisinya bisa lebih banyak,” katanya. Filosofi ini membuatnya terbiasa mencicil pekerjaan, menjaga konsistensi, dan tidak panik ketika tenggat semakin dekat.

Ritme itu terbukti efektif. Hanya dalam waktu dua pekan, draf proposalnya rampung. Sepekan berikutnya ia menuntaskan urusan administrasi ujian. Proses yang bagi sebagian orang bisa makan waktu berbulan-bulan, bagi Haeril berhasil diringkas seperti lari jarak menengah. “Saya anggap proposal itu seperti 10 kilometer. Belum maraton, tapi tetap harus serius,” ujarnya sambil terkekeh.

Strategi Terselubung: Jadi Panitia

Namun, Haeril tak menampik ada faktor lain yang ikut membuat jalannya mulus: ikut kepanitiaan dosen. Ia sempat terlibat membantu acara jurusan. Bukan untuk mencari perlakuan khusus, melainkan untuk belajar ritme kerja akademik yang sebenarnya. “Kalau sudah terbiasa di balik layar, kita jadi tahu standar dan ekspektasi dosen. Itu membantu sekali,” jelasnya.

Mungkin itulah yang membuat ujiannya berlangsung relatif lancar. Ketika hari sidang tiba, ia menghadapi penguji dengan tenang. Presentasi mengalir, jawabannya ringkas namun mantap. Hasilnya? Hanya revisi minor, semacam catatan untuk hasil yang lebih optimal tanpa mengubah struktur besar penelitiannya. “Rasanya kayak finish strong. Capek, tapi lega,” ungkapnya.

Menjaga Disiplin, Menjaga Diri

Kedisiplinan yang dibangun lewat hobi lari ternyata menular ke gaya belajarnya. Haeril terbiasa membuat jadwal latihan fisik sekaligus bagi waktu tulis proposal. “Kalau jam latihan nggak boleh bolong, ya bimbingan juga nggak boleh telat,” katanya. Kebiasaan itu membuatnya mampu menyeimbangkan peran sebagai mahasiswa, pekerja, sekaligus individu yang tetap peduli dengan kesehatan.

Tidak hanya soal fisik, lari juga menjadi terapi mental. Ketika bimbingan terasa berat, ia menyalurkan stresnya dengan jogging sore. “Kadang pas lagi stuck nulis, solusinya muncul justru setelah lari. Kayak ada jeda buat otak bernapas,” katanya.

Proposal Hari Ini, Maraton Besok

Haeril sadar, perjalanan tesis masih panjang. Proposal hanyalah 10 km pertama dari maraton 42 km yang harus ia selesaikan. Namun, pengalaman menjaga pace membuatnya optimis bisa menyelesaikan studi dengan ritme yang terjaga. “Kalau proposal bisa selesai dalam dua pekan, bukan berarti tesisnya juga bisa secepat itu. Tapi saya yakin, kalau disiplin, semua bisa selesai tepat waktu,” katanya.

Bagi Haeril, ujian proposal dianalogikan checkpoint. Sama seperti pelari yang berhenti sejenak di water station sebelum melanjutkan ke kilometer berikutnya. Ia sudah menyiapkan diri untuk tantangan selanjutnya, dengan bekal kebiasaan yang sederhana: tetap berlari, tetap menulis, dan tetap menjaga ritme.

“Buat saya, lari itu bukan soal siapa paling cepat. Sama halnya dengan kuliah, bukan siapa yang paling dulu selesai. Yang penting konsisten sampai garis akhir,” pungkasnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Motret dan Privasi: Jadi Fotografer Lari di CFD, Bolehkah Asal Jepret?

Ilustrasi aktivitas lari di GBK Buat kamu yang hobi motret dan bisa bangun pagi, jadi fotografer lari di acara Car Free Day (CFD) bisa jadi peluang cuan. tidak cuma soal foto-foto estetik pelari yang bisa dijual, tapi juga tentang interaksi yang unik antara kamera dan komunitas. Tapi di balik peluang ini, ada hal penting yang kadang luput dibahas: soal etika dan privasi pelari. Beberapa tahun terakhir, tren fotografer lari makin ramai, terutama di Jakarta atau Makassar. Spot seperti GBK dan sepanjang jalur CFD jadi “lapak” rutin para fotografer dadakan maupun profesional. Cukup bermodal kamera dan semangat bangun pagi, kamu sudah bisa mulai. Harga foto? Bisa tembus Rp30 ribu-Rp100 ribu per jepretan kalau hasilnya bagus. Cuan segelas kopi kekinian pun bisa langsung masuk dompet hanya dari satu klik shutter. Kini, dengan adanya aplikasi seperti Fotoyu , semuanya jadi makin mudah. Fotografer cukup unggah foto ke platform, sementara pelari tinggal scan wajah dan cari foto mereka sendiri....

Jam Terbang Tinggi, Jam Tidur Minim: Tantangan Pekerja Bandara yang Lanjut Studi

Resta di Tower ATC Raga di Kampus, Jiwa di Tower —  Kisah Resta Arga Santosa Makassar - Bagi sebagian orang, kuliah pascasarjana adalah fase naik kelas dalam karier. Tapi bagi Resta Arga Santosa , kuliah S2 justru terasa seperti menerbangkan dua pesawat sekaligus. satu bernama pekerjaan, satu lagi bernama pendidikan. Keduanya butuh konsentrasi penuh, namun waktu hanya 24 jam. Resta bukan mahasiswa biasa. Ia adalah petugas Air Traffic Controller (ATC) di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, salah satu profesi paling menegangkan di dunia penerbangan. Setiap hari, ia bertugas di menara pengawas (tower), memastikan puluhan pesawat bisa lepas landas dan mendarat dengan selamat. Jadwalnya tidak pasti, shift bergantian, dan kesalahan sekecil apa pun bisa berdampak besar. Namun, di tengah pekerjaan yang penuh tekanan itu, Resta mengambil keputusan besar: melanjutkan studi S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin . Bukan untuk gaya-gayaan. Ia ingin memperluas wawasan, memperdalam ca...

Pendidikan Tinggi ≠ Panai’ Tinggi: Citanya Perempuan S2 itu Cinta yang Setara

  Hanun dan Siti Nurul S2 Oleh: Siti Nurul Makassar – Di sela tumpukan jurnal dan lembar presentasi, aku dan Hanun kadang duduk berdua di sudut kantin kampus, membicarakan topik yang sama berulang kali: bagaimana pendidikan tinggi yang kami kejar ternyata tidak selalu membawa kami ke tempat yang diinginkan—terutama dalam urusan relasi. Bukan soal gelar. Tapi soal pandangan orang. “Sudah S2, jadi pasti panai’ tinggi, ya?” adalah kalimat yang lebih sering kami dengar dibanding, “Wah, keren ya lanjut studi!” Seolah pendidikan bukan untuk tumbuh, tapi untuk menaikkan ‘harga’ dalam proses perjodohan. Seolah kami adalah barang, dan gelar kami adalah label harga. Kami Hanya Ingin Belajar Kami masuk program magister bukan untuk gengsi. Aku ingin jadi pengajar di kampus. Hanun ingin membangun lembaga riset perempuan di desanya di Bone. Tapi jalan ke sana tidak selalu mulus, terutama jika dihadapkan pada tekanan sosial. “Saya pernah dekat dengan seseorang,” cerita Hanun suatu hari. “Ta...