Hanun dan Siti Nurul S2 |
Oleh: Siti Nurul
Makassar – Di sela tumpukan jurnal dan lembar presentasi, aku dan Hanun kadang duduk berdua di sudut kantin kampus, membicarakan topik yang sama berulang kali: bagaimana pendidikan tinggi yang kami kejar ternyata tidak selalu membawa kami ke tempat yang diinginkan—terutama dalam urusan relasi.
Bukan soal gelar. Tapi soal pandangan orang.
“Sudah S2, jadi pasti panai’ tinggi, ya?” adalah kalimat yang lebih sering kami dengar dibanding, “Wah, keren ya lanjut studi!” Seolah pendidikan bukan untuk tumbuh, tapi untuk menaikkan ‘harga’ dalam proses perjodohan. Seolah kami adalah barang, dan gelar kami adalah label harga.
Kami Hanya Ingin Belajar
Kami masuk program magister bukan untuk gengsi. Aku ingin jadi pengajar di kampus. Hanun ingin membangun lembaga riset perempuan di desanya di Bone. Tapi jalan ke sana tidak selalu mulus, terutama jika dihadapkan pada tekanan sosial.
“Saya pernah dekat dengan seseorang,” cerita Hanun suatu hari. “Tapi dia bilang, ‘Takut juga kalau kamu terlalu pintar. Saya bisa apa?’”
Aku hanya tertawa getir. Tak jauh berbeda dengan pengalamanku. Ada yang menyebut gelar S2 sebagai “ancaman,” atau, yang lebih menyakitkan, menyarankan agar aku “lebih kalem saja biar cepat laku.”
Panai’ yang Tak Masuk Akal
Di Makassar, panai’ atau mahar masih menjadi simbol besar dalam pernikahan Bugis-Makassar. Semakin tinggi pendidikan perempuan, semakin tinggi pula panai’ yang diharapkan. Masalahnya, tak semua keluarga laki-laki siap, dan tak semua perempuan nyaman dipatok harga karena gelarnya.
Hanun sering bilang, “Kami tidak butuh panai’ tinggi, kami butuh cinta yang setara.” Kami tidak ingin dibeli. Kami ingin dihargai.
Bukan Tentang Jadi Pilihan, Tapi Tentang Memilih
Di tengah tekanan untuk segera menikah, kami mencoba tenang. Menyelesaikan studi dengan kepala dingin dan hati yang sesekali dilanda ragu. Tapi bukan berarti kami menolak cinta. Kami justru sedang menatanya.
Cinta yang kami cari bukan tentang siapa yang sanggup membayar panai’, tapi siapa yang mampu berbagi beban, mengobrol semeja tanpa merasa terancam, dan tumbuh bersama dalam hidup yang saling dukung.
Menjadi Perempuan S2 di Tengah Budaya Patriarki
Menjadi perempuan berpendidikan tinggi dalam masyarakat yang masih kental dengan konstruksi patriarki adalah perjalanan yang menantang. Kami dicintai hanya jika tidak melebihi. Kami dihormati jika tetap menunduk. Tapi aku dan Hanun memilih jalan berbeda: kami ingin dicintai bukan karena “meskipun pintar,” tapi karena justru kami bisa berpikir, berdiskusi, dan hidup bersama dalam kesetaraan.
Tentang Akhir Cerita
Saat ini, aku belum bertemu jodoh. Hanun juga belum. Tapi kami tidak merasa kurang. Kami sedang mengejar cita, bukan sekadar menunggu cinta.
Komentar