Resta di Tower ATC |
Raga di Kampus, Jiwa di Tower — Kisah Resta Arga Santosa
Makassar - Bagi sebagian orang, kuliah pascasarjana adalah fase naik kelas dalam karier. Tapi bagi Resta Arga Santosa, kuliah S2 justru terasa seperti menerbangkan dua pesawat sekaligus. satu bernama pekerjaan, satu lagi bernama pendidikan. Keduanya butuh konsentrasi penuh, namun waktu hanya 24 jam.
Resta bukan mahasiswa biasa. Ia adalah petugas Air Traffic Controller (ATC) di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, salah satu profesi paling menegangkan di dunia penerbangan. Setiap hari, ia bertugas di menara pengawas (tower), memastikan puluhan pesawat bisa lepas landas dan mendarat dengan selamat. Jadwalnya tidak pasti, shift bergantian, dan kesalahan sekecil apa pun bisa berdampak besar.
Namun, di tengah pekerjaan yang penuh tekanan itu, Resta mengambil keputusan besar: melanjutkan studi S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin. Bukan untuk gaya-gayaan. Ia ingin memperluas wawasan, memperdalam cara berpikir, dan mempersiapkan diri untuk masa depan di luar tower.
Kuliah dengan Sisa Energi
Menghadiri kelas setelah shift malam adalah tantangan tersendiri. “Pernah datang ke kelas, fisik di ruangan tapi pikiran masih di runway,” katanya sambil tersenyum lelah. “Kepikiran prosedur, atau kadang masih dengar suara radio komunikasi pesawat di kepala.”
Resta mengakui, jam tidurnya sering jadi korban. Tak jarang ia hanya tidur dua jam sebelum kuliah pagi. Jika ada tugas kelompok, ia biasa menyelesaikannya saat rekan kerja istirahat, atau bahkan di sela-sela kontrol lalu lintas udara ketika situasi sedang sepi.
“Kalau dibilang capek, ya jelas. Tapi ini pilihan. Dan justru karena sibuk, saya jadi makin menghargai waktu,” ujarnya.
Antara Teori dan Praktik
Sebagai orang yang terbiasa berpikir cepat dan sistematis, dunia komunikasi memberi tantangan berbeda. Teori-teori tentang media, strategi komunikasi krisis, atau analisis wacana awalnya terasa asing. Namun perlahan, Resta justru menemukan irisan menarik.
“Di tower, komunikasi itu soal efisiensi dan kejelasan. Di kelas, saya belajar soal konteks, persepsi, dan makna. Dua-duanya penting,” katanya. Ia juga mulai memikirkan bagaimana keterampilan komunikasinya bisa dikembangkan, baik di lingkungan kerja maupun masyarakat.
Jadi Inspirasi Diam-diam
Meski tak banyak bicara di kelas, kehadiran Resta kerap mencuri perhatian teman-temannya. Ia datang dengan seragam dinas, kadang masih membawa ransel kerja, wajahnya terlihat letih tapi selalu serius mengikuti materi. Beberapa teman bahkan menjadikannya panutan diam-diam.
“Saya sering berpikir, kalau dia saja bisa kuliah sambil kerja seberat itu, kenapa saya harus malas?” ujar salah satu rekannya.
Mendaratkan Mimpi
Kini, semester dua hampir selesai. Tugas akhir sudah mulai menghantui. Tapi bagi Resta, ini justru fase paling penting. Ia ingin tugas akhirnya bisa bermanfaat, mungkin tentang komunikasi dalam dunia aviasi atau manajemen krisis di lingkungan kerja.
“Suatu hari nanti, saya ingin jadi pengajar atau pembicara profesional. Mungkin bukan lagi di tower, tapi di ruang kelas,” katanya.
Maka untuk sementara, meskipun jam tidur minim dan hari-hari terasa padat, Resta memilih bertahan. Karena ia percaya, kerja kerasnya hari ini sedang menerbangkan sesuatu yang lebih besar: masa depan.
Komentar