Dua puluh tujuh tahun berlalu sejak reformasi 1998, namun luka sejarah itu belum sepenuhnya sembuh. Di jalanan Jakarta, Yogyakarta, hingga Makassar, sempat terdengar gema serupa: kerumunan massa, poster tuntutan, dan pekik amarah yang mirip dengan fragmen reformasi yang pernah membakar rezim. Kali ini, mungkin tanpa darah sebanyak dahulu, tetapi bayangannya tetap menakutkan. Luka belum lenyap, dan ’98 seperti kembali dengan senyap, namun nyata.
Sepuluh Korban, Sepuluh Luka Baru
Kabar duka datang cepat. Sepuluh korban jatuh dalam aksi massa pekan lalu. Tidak semua karena peluru atau gas air mata; sebagian karena sesak, sebagian terjatuh, dan ada yang semata karena panik. Namun, angka sepuluh itu sudah cukup menjadi pengingat: amarah yang tak terkelola, bisa berujung nyawa.
Di sisi lain, pernyataan duka dari pejabat negara terdengar hambar, bahkan tanpa kata maaf. “Kami berduka, tapi massa harus waspada pada provokator dalang asing,” begitu kira-kira narasinya. Kalimat yang seakan rutin diulang di masa ini, naluri alamiah kemarahan tidak tervalidasi. Seolah-olah, tragedi sosial yang lahir dari ketimpangan internal bangsa bisa selalu dijelaskan dengan satu kambing hitam: asing.
Ketimpangan yang Memelihara Bara
Akar amarah itu tidak muncul tiba-tiba. Reformasi dulu digerakkan oleh krisis ekonomi, represi politik, dan jurang ketidakadilan. Kini, puluhan tahun setelahnya, baranya tetap menyala.
Kesenjangan kesejahteraan semakin jelas. Di tengah kota, toko mulai sepi, di kampung, harga pangan naik tak terjangkau. Di dunia digital, pejabat sibuk joget tanpa pencapaian, sementara warganya mengeluh tentang gaji yang tak cukup untuk kebutuhan dasar. Ketimpangan ini bukan sekadar data BPS, ini adalah realitas sehari-hari.
Maka wajar bila ruang digital meledak menjadi tempat pelampiasan. Postingan protes, meme satir, hingga seruan aksi bisa viral dalam hitungan jam. Dan, seperti yang sudah terbukti, dunia maya mampu menyeret ribuan pasang kaki ke jalan raya.
Media Arus Utama: Milik Siapa?
Di tengah gejolak itu, publik kembali mempertanyakan keberpihakan media arus utama. Siaran televisi tampak berhati-hati, bahkan cenderung tunggu arahan: memberi porsi besar pada konferensi pers pemerintah, namun minim pada suara tuntutan dan korban. Laporan tentang kerusuhan lebih menyoroti kerugian fasilitas umum ketimbang penderitaan masyarakat selama ini.
Tidak semua media demikian, tentu. Ada juga jurnalis yang tetap turun ke lapangan, merekam suara mahasiswa, buruh, atau ibu-ibu yang membawa anaknya ke aksi. Tetapi framing besar media dominan tetap terasa: pemerintah dikesankan sebagai pihak yang berusaha menenangkan, massa seolah digambarkan liar, dan “aktor penggerak” kembali dijadikan penjelasan instan.
Padahal publik yang melek digital kini lebih kritis. Mereka membandingkan informasi dari televisi dengan unggahan di X, Instagram, atau TikTok. Dan perbedaan itu menciptakan jurang kepercayaan. “Kalau medianya tak berpihak pada rakyat, biar rakyat yang bikin medianya sendiri,” kutipan satu komentar di akun media nasional.
Amarah Digital, Gerakan Nyata
Fenomena ini menunjukkan sesuatu yang penting: emosi di ruang digital bukanlah sekadar “curhat online”. Ia bisa jadi energi politik yang nyata. Dari seruan boikot produk, ajakan aksi hingga warna penyatuan gerakan Reset Indonesia disimbolkan dengan brave pink dan hero green, semua lahir dari interaksi emosional yang saling menguatkan.
Ketika satu video korban jatuh dan dilindas diunggah, ribuan komentar menyusul. Dari simpati, berubah jadi amarah. Dari amarah, berubah jadi mobilisasi. Hanya butuh hitungan jam untuk mengubah percakapan virtual menjadi langkah nyata di jalan raya.
Kondisi ini mestinya dibaca pemerintah dengan jernih. Bukan untuk semakin represif, melainkan untuk memahami: rakyat punya saluran baru dalam mengekspresikan ketidakpuasan. Menutupinya dengan tuduhan asing atau menstigmatisasi massa justru mempertebal jurang kepercayaan.
Pedoman Memahami Amarah
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan? Ada beberapa pedoman sederhana yang bisa jadi pegangan negara:
-
Akui Luka dengan Tulus. ucapan maaf atas duka pada korban bukan sekadar kalimat seremonial. Pemerintah harus hadir, bertemu keluarga korban, dan mengakui kesalahan tanpa menunda,
-
Hentikan Kambing Hitam. Menyalahkan “aktor asing” tanpa bukti hanya memperkeruh suasana. Ini era keterbukaan; publik tidak mudah ditipu.
-
Prioritaskan Keadilan Sosial. Akar masalah selalu kembali pada ketimpangan. Tanpa perbaikan distribusi kesejahteraan, aksi akan terus berulang.
-
Hormati Media Independen. Biarkan jurnalis bekerja tanpa intimidasi. Transparansi adalah kunci meredakan amarah.
-
Kelola Emosi Digital. Jangan menuduh warganet sebagai “penyebar hoaks” setiap kali ada kritik. Lebih baik buka kanal komunikasi resmi, menjawab dengan data dan empati.
98: Jangan Jadi Bayangan yang Berulang
Reformasi 1998 adalah titik balik. Ia lahir dari luka, darah, dan air mata. Dua puluh tujuh tahun berselang, seharusnya negara belajar. Namun jika pola yang sama terus diulang ketimpangan ekonomi, stigmatisasi rakyat, media yang timpang, hingga pengabaian duka bukan mustahil 98 akan selalu kembali.
Kali ini mungkin tidak dengan dentuman besar, melainkan dengan langkah senyap. Dari unggahan media sosial yang viral, dari meme yang menggelitik, dari video yang bikin hati perih. Tapi jangan salah: senyap bisa lebih berbahaya, karena ia mengendap dalam kesadaran publik.
“Luka belum lenyap,” kata seorang aktivis muda. “Kalau negara terus pura-pura tuli, jangan kaget kalau sejarah kembali berteriak.”
Komentar