Langsung ke konten utama

Ragam Proposal Tak Biasa: Dari TikTok Edukasi hingga Politik Kucing Prabowo

Novita dan Hikmah sebelum ujian proposal
 

Sidang Proposal yang Tidak Biasa

Ujian proposal pascasarjana biasanya identik dengan topik berat, bahasa akademis kaku, dan wajah-wajah tegang. Tapi kali ini berbeda. Di salah satu ruang sidang kampus, dua mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi memecah suasana serius dengan topik yang unik dan nyentrik: TikTok Edukasi dan Politik Kucing.

Novita SRW dan Hikmah Ramadhani tampil bergantian di hadapan penguji. Bedanya, kali ini audiens bukan hanya mendengarkan data dan teori, tapi juga ikut terhibur.

Novita SRW: Edukasi Bisa Tetap Hits di TikTok

Novita mengangkat konten edukasi karya Jay Fujiwara di TikTok. Bukan tipe video yang hanya joget-joget, melainkan pembelajaran kreatif yang dikemas mengikuti tren digital. Ia menunjukkan bagaimana Jay mampu membuat bahasa Inggris menjadi relatable dengan kedekatan pengguna tiktok.

“Yang penting bukan cuma isinya, tapi cara penyampaiannya membuat video edukasi,” kata Novita sambil memutar cuplikan Jay mengajarkan edukasi bahasa ingris. Para penguji terlihat manggut-manggut, sebagian bahkan tersenyum melihat bagaimana edukasi bisa “menyelinap” ke tengah hiburan singkat.

Hikmah Ramadhani: Politik Bisa Dielus, Bukan Selalu Diseruduk

Berbeda 180 derajat, Hikmah memilih menganalisis fenomena Bobby Kartanegara, kucing yang jadi figur politik di media sosial. Di tangannya, Bobby bukan sekadar bahan penelitian baru, tapi pintu masuk membedah citra publik Prabowo Subianto.

Dengan gaya santai, ia menjelaskan bagaimana personifikasi kucing bisa mengemas satire politik dengan aman dan menarik. “Kalau dipikir-pikir, engagement Bobby mungkin lebih sehat dibanding beberapa politisi asli,” ujarnya, memicu gelak tawa. Bahkan ia menutup presentasi dengan kalimat: “Bisa jadi Bobby lebih layak jadi wakil presiden daripada Gibran.”

Dari Sidang Formal ke Diskusi yang Mengalir

Meski berlangsung dalam format resmi ujian proposal, presentasi Novita dan Hikmah justru mengalir seperti diskusi santai namun berbobot. Setiap pertanyaan dari penguji dibalas dengan contoh konkret dan analisis yang relevan dengan dunia digital.

Novita menjelaskan teknik storytelling kreator TikTok secara runut, sementara Hikmah memaparkan strategi membangun citra politik lewat medium yang tidak biasa, seekor kucing. Alih-alih kaku, suasana justru terbuka dan interaktif, membuat audiens merasa ikut terlibat dalam riset yang dibahas.

Keberanian Mengambil Topik Nyentrik

Di balik keseruan, ada modal besar yang dibawa Novita dan Hikmah: keberanian. Dalam dunia akademik, topik di luar arus utama sering kali dipandang sebelah mata. Perlu keyakinan ekstra untuk meyakinkan penguji bahwa riset tentang TikTok atau kucing politik punya bobot ilmiah.

Hasilnya? Novita mendapat revisi minor di metodologi, sementara Hikmah diminta memperkaya kajian literatur soal humor politik. Tidak ada yang merasa kalah; justru keduanya menganggap ini langkah maju.

Dari Ruang Sidang ke Dunia Nyata

Usai sidang, keduanya bercanda di luar ruangan. “Kalau nanti ada Bobby Kartanegara 2.0, aku mau ikut jadi tim suksesnya,” ujar Novita sambil tertawa. Hikmah membalas, “Nanti kampanyenya kita bikin di TikTok, biar viral sekalian.”

Siapa tahu, riset Novita suatu hari jadi panduan guru untuk mengajar generasi Z, sementara riset Hikmah jadi referensi ahli komunikasi politik kreatif. Karena, seperti kata mereka berdua, dunia akademik tidak melulu soal menjawab pertanyaan lama, tapi juga mengajukan pertanyaan baru
bahkan yang terdengar absurd, seperti:

  • “Bisakah kucing jadi capres?”

  • “Bisakah video 30 detik mengubah cara belajar satu generasi?”

Yang jelas, di hari itu, ruang sidang proposal membuktikan satu hal: ilmu pengetahuan bisa lahir dari tawa, rasa ingin tahu, dan keberanian untuk berbeda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Terbang Tinggi, Jam Tidur Minim: Tantangan Pekerja Bandara yang Lanjut Studi

Resta di Tower ATC Raga di Kampus, Jiwa di Tower —  Kisah Resta Arga Santosa Makassar - Bagi sebagian orang, kuliah pascasarjana adalah fase naik kelas dalam karier. Tapi bagi Resta Arga Santosa , kuliah S2 justru terasa seperti menerbangkan dua pesawat sekaligus. satu bernama pekerjaan, satu lagi bernama pendidikan. Keduanya butuh konsentrasi penuh, namun waktu hanya 24 jam. Resta bukan mahasiswa biasa. Ia adalah petugas Air Traffic Controller (ATC) di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, salah satu profesi paling menegangkan di dunia penerbangan. Setiap hari, ia bertugas di menara pengawas (tower), memastikan puluhan pesawat bisa lepas landas dan mendarat dengan selamat. Jadwalnya tidak pasti, shift bergantian, dan kesalahan sekecil apa pun bisa berdampak besar. Namun, di tengah pekerjaan yang penuh tekanan itu, Resta mengambil keputusan besar: melanjutkan studi S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin . Bukan untuk gaya-gayaan. Ia ingin memperluas wawasan, memperdalam ca...

Pendidikan Tinggi ≠ Panai’ Tinggi: Citanya Perempuan S2 itu Cinta yang Setara

  Hanun dan Siti Nurul S2 Oleh: Siti Nurul Makassar – Di sela tumpukan jurnal dan lembar presentasi, aku dan Hanun kadang duduk berdua di sudut kantin kampus, membicarakan topik yang sama berulang kali: bagaimana pendidikan tinggi yang kami kejar ternyata tidak selalu membawa kami ke tempat yang diinginkan—terutama dalam urusan relasi. Bukan soal gelar. Tapi soal pandangan orang. “Sudah S2, jadi pasti panai’ tinggi, ya?” adalah kalimat yang lebih sering kami dengar dibanding, “Wah, keren ya lanjut studi!” Seolah pendidikan bukan untuk tumbuh, tapi untuk menaikkan ‘harga’ dalam proses perjodohan. Seolah kami adalah barang, dan gelar kami adalah label harga. Kami Hanya Ingin Belajar Kami masuk program magister bukan untuk gengsi. Aku ingin jadi pengajar di kampus. Hanun ingin membangun lembaga riset perempuan di desanya di Bone. Tapi jalan ke sana tidak selalu mulus, terutama jika dihadapkan pada tekanan sosial. “Saya pernah dekat dengan seseorang,” cerita Hanun suatu hari. “Ta...

Sulitnya Cari Outfit dan Pose Itu-Itu Saja, Langkanya Foto Angkatan Jadi Istimewa

  Foto angkatan S2 Komunikasi Unhas S2 Ilmu Komunikasi Unhas Angkatan 2024 (1), Semester Akhir Abadikan Momen Langka Bersama Makassar – Ada yang menyetrika kemeja sejak malam sebelumnya, ada yang baru pinjam kemeja putih saat di kampus. Di antara berbagai kesibukan akademik dan pekerjaan, mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin akhirnya berkumpul lengkap dalam satu momen langka: foto angkatan . Diambil pada penghujung semester kedua, sesi foto ini menjadi salah satu dari sedikit waktu di mana seluruh mahasiswa angkatan 2023/2024 bisa berkumpul secara langsung. Mengingat masa studi yang hanya berlangsung dua semester dengan jadwal yang padat dan pertemuan yang jarang, sesi ini menjadi momen yang tidak sekadar simbolis, tapi juga emosional. Dibalik Seragam yang Tak Seragam Panitia telah menentukan warna pakaian: atasan beige dan bawahan putih. Namun rupanya, menentukan seragam tidak semudah menyebutkan warna. “Beige itu definisinya bisa beda-beda. Ada yang terlalu ge...