"Ingin Jadi Jonathan dan Dicintai Sore, Selamanya!" Refleksi Hidup Setelah Menonton Film “Sore: Istri dari Masa Depan
Ikraam setelah nonton Sore |
Seharusnya saya menonton film Sore: Istri dari Masa Depan minggu lalu. Tapi tiketnya habis. Akhirnya minggu ini, setelah selesai rapat kampus yang entah kenapa seperti tidak kunjung selesai, saya memutuskan untuk ikut bersama kawan lain ke bioskop. Tak banyak ekspektasi. Hanya penasaran film ini ramai dibahas di media sosial. Banyak yang bilang “relate”, “bikin merenung”, "mau nonton ulang biar paham" dan “mau punya versi Sore dalam hidupku”.
Film ini bercerita tentang Jonathan, cowok biasa yang hidupnya berjalan biasa dan sedikit bingung arah. Sampai tiba-tiba, muncul Sore, perempuan yang mengaku datang dari masa depan dan menyebut dirinya istri Jonathan. Dari situ, hidup Jonathan berantakan sekaligus tercerahkan.
Buatku, film ini bukan hanya tentang romansa dan twist perjalanan waktu. Ini tentang refleksi hidup. Tentang perubahan yang bisa (dan harus) kita lakukan sebelum hidup menegur terlalu keras.
Beberapa scene cukup simbolik, terutama saat Jonathan dan Sore bertemu di pameran seni. Bukankah itu bukan sekadar tempat bertemu? Pameran adalah tempat kita melihat masa lalu orang lain yang diabadikan: foto. Lalu kita tafsirkan dengan pikiran hari ini. Mirip seperti cara kita menafsir masa lalu kita sendiri, bukan?
Jonathan tidak diberi lorong waktu Deddy Mizwar. Tapi diberi Sore, seorang perempuan yang tahu masa depannya. Ini semacam metafora: kadang kita tidak butuh teknologi untuk memperbaiki hidup. Kita hanya butuh seseorang yang mengingatkan, atau pengalaman yang cukup menyentak, untuk bilang: “Hei, kamu bisa hidup lebih baik dari ini.”
Sore datang sebagai wujud kasih sayang versi masa depan yang tidak datang untuk menghukum, tapi menyelamatkan. Dari sisi semiotik saya memaknai Sore sebagai “sore hari” dalam kehidupan masa menjelang malam. Ia datang sebagai alarm bahwa malam (akhir) sudah dekat. Dalam Islam, kita mengenal waktu Ashar sebagai salah satu waktu penting yang selalu diingatkan, jika tidak salah seperti ini bunyinya "manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh…"
Begitu pula dalam konsep reinkarnasi atau samsara di ajaran Hindu dan Buddha, hidup yang berulang bukan kutukan, tapi kesempatan. Kesempatan memperbaiki karma lama. Kalau hidup terasa mengulang hal yang sama, mungkin karena kita belum belajar dengan benar.
Sebagai penulis yang akrab dengan deadline, film ini seperti mengingatkan: hidup juga punya tenggat. Sayangnya, kita tidak tahu kapan. Bisa besok. Bisa sore ini.
Ada momen saat Sore berkata, “Aku hanya ingin kamu hidup lebih baik.” Kalimat yang sederhana, tapi menusuk. Siapa dalam hidup kita yang pernah bilang itu? Dan, lebih penting lagi: siapa yang sudah kita katakan kalimat itu kepadanya?
Film ini membuatku berpikir: jangan-jangan kita semua punya versi Sore dalam hidup yang hadir sejenak untuk mengubah arah. Entah itu sahabat, guru, ibu, atau pasangan yang datang hanya untuk menunjukkan bahwa hidup bisa lebih tertata, kalau kita mau berbenah.
Dan seperti Jonathan, kita mungkin tidak langsung paham. Tapi semoga tidak terlambat.
Komentar