3 srikandi ujian di hari yang sama
Makassar - Ada pepatah, “mulutmu harimaumu.” Tapi bagi tiga mahasiswi S2 Ilmu Komunikasi Unhas, gurauan bisa saja berubah jadi strategi akademik. Dian Rahayu, Nursaripati Risca, dan Siti Nurul Hasanah awalnya hanya bercanda soal ujian proposal bersama di hari yang sama. Namun, siapa sangka, rencana yang lahir dari tawa-tawa ringan itu benar-benar jadi kenyataan.
Dari Hashtag Hingga Panggung Komedi
Ketiga perempuan ini membawa topik yang berbeda, tapi sama-sama menarik. Dian Rahayu menyoroti dinamika percakapan publik di media sosial dengan analisis sentimen #TolakPPN12%. Isu pajak yang kerap dianggap berat, olehnya disulap jadi riset yang dekat dengan denyut warganet.
Di sisi lain, Nursaripati Risca memilih meneliti ranah hiburan: stand-up comedy show by Eky Priyagung dengan tajuk Bergur(a)u dari Luka. Sebuah pertunjukan yang tidak hanya bikin penonton tertawa, tetapi juga mengajak berpikir kritis tentang pengalaman hidup.
Sementara itu, Siti Nurul Hasanah menekuni tema komunikasi organisasi di Angkasa Pura, sebuah isu yang terasa “langit-langit tinggi” namun tetap relevan dengan dinamika pelayanan publik dan manajemen korporasi.
Tiga topik ini menunjukkan spektrum luas komunikasi: dari dunia maya, panggung seni, hingga ruang organisasi formal.
Bandang Pisang dan Panitia Dosen
Cerita tentang mereka tak hanya soal akademik yang serius. Ada mitos kecil yang berkembang di balik keberhasilan ujian mereka di hari yang sama. Konon, rahasia kesamaan jadwal itu berawal dari bandang pisang yang dibawa Siti Nurul. Kudapan manis itu menemani proses bimbingan, seakan jadi “jimat” penyatu tiga jadwal ujian.
Selain itu, Dian Rahayu dan Nursaripati Risca dikenal aktif membantu dalam kepanitiaan acara dosen. Keterlibatan mereka, entah kebetulan atau tidak, tampaknya turut memperlancar koordinasi sehingga jadwal ujian mereka bisa disusun serentak. Jadilah gurauan, “yuk ujian bareng,” menjelma kenyataan.
Humor sebagai Energi Akademik
Kebersamaan mereka mengingatkan bahwa dunia akademik tidak selalu identik dengan wajah tegang dan buku tebal. Humor bisa jadi strategi bertahan. Dalam setiap proses bimbingan, canda-canda kecil sering kali membuat revisi terasa lebih ringan.
Seperti topik Nursaripati tentang stand-up comedy, pengalaman mereka sendiri seakan membuktikan bahwa “bergurau dari luka” bukan hanya teori. Revisi, jadwal yang diundur, hingga tekanan jelang ujian bisa dianggap luka kecil dalam perjalanan akademik. Namun ketika dibalut humor, semua jadi lebih tertangani.
Tiga Srikandi, Tiga Inspirasi
Hari ujian itu akhirnya tiba. Bertiga mereka duduk menghadapi penguji, dengan materi yang berbeda namun semangat yang sama. Tidak ada lagi gurauan soal “kalau bisa barengan.” Yang ada hanya keseriusan menjawab pertanyaan, menyimak masukan, dan menerima revisi dengan lapang dada.
Namun, yang membuat kisah mereka menarik adalah bagaimana proses akademik terasa lebih manusiawi. Ada tawa, ada camilan, ada kerja sama, dan tentu saja ada solidaritas di antara sesama pejuang proposal.
Berguru pada Mereka
Kisah Dian, Nursaripati, dan Siti Nurul adalah pengingat bahwa perjalanan akademik tidak selalu harus dijalani dengan wajah muram. Terkadang, gurauan bisa jadi doa, camilan bisa jadi perekat, dan kebersamaan bisa jadi strategi.
Tiga perempuan ini mungkin tidak sengaja memberi pelajaran penting: berguru tidak selalu harus di ruang kelas; berguru juga bisa lewat tawa, lewat persahabatan, dan lewat keberanian menjadikan guyonan sebagai kenyataan.
Di akhir hari, ketiganya pulang dengan rasa lega. Proposal sudah diuji, revisi tentu menanti, tapi ada kebanggaan yang sulit ditukar: mereka berhasil melewati satu tahap penting dengan cara yang unik, bersama-sama, dalam satu hari, seperti yang dulu hanya mereka anggap bahan bercanda.
Komentar