![]() |
Hilal dan Dias Swafoto setelah ujian proposal |
Di ruang sidang proposal, wajah Faiz Hilal dan Diastuti sama-sama memancarkan senyum lega. Tidak ada yang tahu betapa panjang jalan yang telah mereka tempuh untuk sampai di titik ini, ujian proposal dengan revisi minim. Namun, jika kita membuka lembar kisah sebelum hari itu, akan terlihat bagaimana “perang” di tahap bimbingan menjadi latihan mental, intelektual, bahkan emosional.
Faiz: Berjuang di Tengah Topik Berat
Faiz Hilal memilih topik yang tidak ringan, kesehatan mental. Topik ini bukan hanya relevan dengan isu generasi muda, tapi juga penuh tantangan dari sisi metodologi dan sensitivitas pembahasan. Setiap kali datang ke dosen pembimbing, ia tahu kemungkinan besar akan pulang dengan catatan revisi.
“Kadang rasanya sedih, apalagi kalau sudah merasa tulisan ini rapi, eh, masih ada yang kurang,” kenangnya sambil tertawa kecil. Tapi tawa itu jelas berbalut ingatan akan malam-malam panjang di depan laptop. Ada kalanya ia ingin menyerah, namun pesan-pesan singkat dari teman seangkatan yang terus menyemangati membuatnya bertahan.
Baginya, bimbingan adalah semacam “uji nyali akademik” sebelum ujian proposal sebenarnya. “Kalau di bimbingan sudah tegar, ujian nanti tinggal nyantai,” katanya. Dan benar saja, di hari ujian, Faiz menjawab pertanyaan penguji dengan tenang. Revisi yang diberikan hanya sedikit, tak sebanding dengan “banjir tinta merah” di lembar bimbingan sebelumnya.
Diastuti: Kredibilitas Media di Era Media Sosial
Sementara itu, Diastuti punya medan pertempuran yang berbeda. Ia meneliti kredibilitas media berita di media sosial, isu yang mengharuskannya berpijak pada teori yang kuat, data yang valid, dan analisis yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Awalnya saya pikir cukup membandingkan berita di media online dan di medsos. Tapi ternyata, kredibilitas itu harus diurai dari banyak aspek: sumber, framing, sampai persepsi audiens,” ujarnya.
Di tahap bimbingan, Diastuti harus bolak-balik menyesuaikan kerangka teorinya. Ada hari-hari di mana ia pulang dari kampus dengan kepala penuh pikiran, mencoba mencari cara agar penelitiannya tidak kehilangan fokus. Untungnya, ia punya kebiasaan mencatat masukan dosen dalam poin-poin kecil sehingga revisi terasa lebih terstruktur.
Ketika ujian proposal tiba, ia berhasil memaparkan penelitiannya secara runut, menjawab pertanyaan dengan referensi yang siap di ujung lidah. Hasilnya: revisi minim. Sebuah pencapaian yang, menurutnya, lahir dari disiplin di tahap bimbingan.
Bimbingan: Arena Latihan Sebenarnya
Dari kisah Faiz dan Diastuti, ada satu benang merah: bimbingan adalah kunci. Meski sering membuat stres, tahap ini justru membentuk mental menghadapi ujian proposal. Mereka sama-sama menyadari bahwa setiap catatan dosen pembimbing bukan sekadar “koreksi”, melainkan panduan untuk membuat penelitian lebih tajam.
Faiz mengibaratkan bimbingan seperti pemanasan dalam olahraga. “Kalau di pemanasan kita kurang, nanti di pertandingan asli kita kurang siap,” katanya. Diastuti menambahkan, “Kalau dosen pembimbing sudah puas, biasanya penguji juga akan lebih mudah menerimanya.”
Dikuatkan Keluarga-Teman, Menguatkan Diri Sendiri
Menjalani bimbingan panjang dan revisi berulang memang melelahkan, tapi dukungan sosial memainkan peran besar. Baik Faiz maupun Diastuti mengaku, obrolan santai dan bercanda di grup WhatsApp kelas adalah salah satu alasan mereka tetap semangat.
“Ada yang selalu ingatkan istrahat, ada yang kirim stiker semangat, sampai yang cuma bilang, ‘Semangat! itu semua berharga,” ujar Hilal. Sementara Diastuti merasa saling berbagi cerita soal revisi membuat beban terasa lebih ringan.
Minim Revisi: Hasil dari Proses Panjang
Bagi keduanya, ujian proposal bukan sekadar formalitas akademik. Itu adalah puncak dari proses yang penuh perjuangan. Minim revisi bukan berarti perjalanan mereka bebas hambatan, justru sebaliknya itu tanda bahwa mereka sudah melewati medan berat di tahap sebelumnya.
Kini, mereka melangkah ke tahap berikutnya dengan rasa percaya diri yang lebih besar. Dan jika ada satu pesan yang ingin mereka bagikan kepada mahasiswa lain, ajak ngobrol Hilal dan Dias, mereka sudah tidak takut revisi, karena ia anggap Itu bukan musuh, itu pelatih terbaik.
Komentar