Langsung ke konten utama

Ujian Dihantam, Hujan Menghunjam: Misteri Proposal Bahas Makam Raja Majene

 

Firman swafoto sebelum ujian, jadi misteri

Makassar – Tiba-Tiba Langit Gelap dan Pendahuluan Hilang Sebagian: Misteri Foto Sebelum Ujian Dimulai

Ada banyak hal yang bisa bikin mahasiswa grogi sebelum ujian proposal: teori yang belum mantap, metode yang masih ragu, atau daftar pustaka yang entah di mana. Tapi bagi Firmasnyah, yang bikin dag-dig-dug bukan cuma itu, melainkan pendahuluan proposalnya yang cuma dua lembar.

Firmasnyah, mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, baru saja menjalani ujian proposal dengan topik kajian komunikasi tentang makam raja di Majene. Topik yang unik, menarik, dan katanya bakal ‘sejarah bagus’. Tapi ternyata, sejarah bukan satu-satunya yang disorot penguji. Pendahuluan yang super ringkas justru jadi sasaran utama.

“Dua lembar? Ini pendahuluan atau sekilas info?” celetuk salah satu penguji dengan nada setengah bercanda. Ruangan yang awalnya formal mendadak hangat karena semua ikut tersenyum, termasuk Firmasnyah yang menahan rasa gugup sambil ikut tertawa kecil.

Foto Sebelum Ujian: Langit Cerah, Hati Ceria

Sebelum masuk ruang ujian, Firmasnyah sempat berfoto dengan beberapa teman. Langit cerah, senyum lebar, dan raut percaya diri terpancar jelas. “Waktu itu saya percaya diri sekali. Kayaknya bakal aman lah, kan topiknya bagus,” kenangnya.

Namun, percaya diri itu mulai goyah setelah penguji mulai membedah pendahuluan yang katanya ‘hilang sebagian’. “Kamu ini kayaknya keburu-buru, masa pendahuluan dua lembar. Harusnya jelaskan dulu kenapa makam raja di Majene penting buat dikaji,” ujar penguji sambil tetap memberikan masukan serius.

Firmasnyah cuma bisa mengamngguk sambil mencatat revisi.

Ujian Dihantam, Hujan Menghantam

Setelah ‘dibantai’ dengan pertanyaan bertubi-tubi, Firmasnyah akhirnya berhasil menyelesaikan ujiannya dengan selamat. Tapi rupanya, langit juga ikut mengomentari jalannya ujian. Begitu keluar dari ruangan, tiba-tiba langit yang tadinya cerah berubah gelap seketika. Hujan deras langsung mengguyur.

“Sumpah, baru kali ini saya lihat hujan secepat itu datang. Langit tiba-tiba gelap kayak lampu dimatikan,” kata salah satu temannya yang ikut menonton ujian.

Ada yang bilang, hujan itu pertanda berkah. Tapi Firmasnyah sambil bercanda bilang, mungkin hujan itu datang untuk membasuh kesedihan pendahuluannya yang hilang sebagian. “Mungkin langit juga tidak rela pendahuluan saya cuma dua lembar,” katanya sambil tertawa lepas.


Pelajaran dari Langit dan Lembar Pendahuluan

Walau ujiannya penuh revisi dan sedikit ‘benturan’, Firmasnyah tetap mengaku bersyukur. Ia menganggap semua itu bagian dari proses belajar. “Lebih baik dibantai di proposal, daripada nanti di hasil akhir,” katanya bijak.

Kini, ia berencana memperbaiki pendahuluannya dengan tambahan narasi sejarah yang lebih kuat. Firmasnyah juga berharap, di sidang berikutnya hujannya tet
ap deras, tapi semoga pendahuluannya tidak ‘hilang’ lagi.

Dan untuk teman-temannya yang akan ujian, ia meninggalkan pesan sederhana: “Kalau mau langit tetap cerah, pastikan pendahuluanmu lebih dari dua lembar.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Motret dan Privasi: Jadi Fotografer Lari di CFD, Bolehkah Asal Jepret?

Ilustrasi aktivitas lari di GBK Buat kamu yang hobi motret dan bisa bangun pagi, jadi fotografer lari di acara Car Free Day (CFD) bisa jadi peluang cuan. tidak cuma soal foto-foto estetik pelari yang bisa dijual, tapi juga tentang interaksi yang unik antara kamera dan komunitas. Tapi di balik peluang ini, ada hal penting yang kadang luput dibahas: soal etika dan privasi pelari. Beberapa tahun terakhir, tren fotografer lari makin ramai, terutama di Jakarta atau Makassar. Spot seperti GBK dan sepanjang jalur CFD jadi “lapak” rutin para fotografer dadakan maupun profesional. Cukup bermodal kamera dan semangat bangun pagi, kamu sudah bisa mulai. Harga foto? Bisa tembus Rp30 ribu-Rp100 ribu per jepretan kalau hasilnya bagus. Cuan segelas kopi kekinian pun bisa langsung masuk dompet hanya dari satu klik shutter. Kini, dengan adanya aplikasi seperti Fotoyu , semuanya jadi makin mudah. Fotografer cukup unggah foto ke platform, sementara pelari tinggal scan wajah dan cari foto mereka sendiri....

Jam Terbang Tinggi, Jam Tidur Minim: Tantangan Pekerja Bandara yang Lanjut Studi

Resta di Tower ATC Raga di Kampus, Jiwa di Tower —  Kisah Resta Arga Santosa Makassar - Bagi sebagian orang, kuliah pascasarjana adalah fase naik kelas dalam karier. Tapi bagi Resta Arga Santosa , kuliah S2 justru terasa seperti menerbangkan dua pesawat sekaligus. satu bernama pekerjaan, satu lagi bernama pendidikan. Keduanya butuh konsentrasi penuh, namun waktu hanya 24 jam. Resta bukan mahasiswa biasa. Ia adalah petugas Air Traffic Controller (ATC) di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, salah satu profesi paling menegangkan di dunia penerbangan. Setiap hari, ia bertugas di menara pengawas (tower), memastikan puluhan pesawat bisa lepas landas dan mendarat dengan selamat. Jadwalnya tidak pasti, shift bergantian, dan kesalahan sekecil apa pun bisa berdampak besar. Namun, di tengah pekerjaan yang penuh tekanan itu, Resta mengambil keputusan besar: melanjutkan studi S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin . Bukan untuk gaya-gayaan. Ia ingin memperluas wawasan, memperdalam ca...

Pendidikan Tinggi ≠ Panai’ Tinggi: Citanya Perempuan S2 itu Cinta yang Setara

  Hanun dan Siti Nurul S2 Oleh: Siti Nurul Makassar – Di sela tumpukan jurnal dan lembar presentasi, aku dan Hanun kadang duduk berdua di sudut kantin kampus, membicarakan topik yang sama berulang kali: bagaimana pendidikan tinggi yang kami kejar ternyata tidak selalu membawa kami ke tempat yang diinginkan—terutama dalam urusan relasi. Bukan soal gelar. Tapi soal pandangan orang. “Sudah S2, jadi pasti panai’ tinggi, ya?” adalah kalimat yang lebih sering kami dengar dibanding, “Wah, keren ya lanjut studi!” Seolah pendidikan bukan untuk tumbuh, tapi untuk menaikkan ‘harga’ dalam proses perjodohan. Seolah kami adalah barang, dan gelar kami adalah label harga. Kami Hanya Ingin Belajar Kami masuk program magister bukan untuk gengsi. Aku ingin jadi pengajar di kampus. Hanun ingin membangun lembaga riset perempuan di desanya di Bone. Tapi jalan ke sana tidak selalu mulus, terutama jika dihadapkan pada tekanan sosial. “Saya pernah dekat dengan seseorang,” cerita Hanun suatu hari. “Ta...