Langsung ke konten utama

Alasan Urbanpost.id Jarang Bikin Berita, Dirutnya Ujian Proposal Duluan

 

Imran berswafoto setelah ujian proposal


Makassar – Nama Imran sudah tak asing di kalangan pegiat media dan di lingkunagn akademiknya. Ia adalah Direktur Utama Urbanpost.id, media partisipatif yang mengangkat cerita-cerita lokal dan suara warga oleh orang muda. Namun belakangan, platform yang ia dirikan jarang menerbitkan berita baru. Bukan karena kehabisan isu, tapi karena Imran sedang sibuk dengan perjalanan akademiknya sendiri: ujian proposal tesis.

Di luar kesibukannya mengelola Urbanpost.id, Imran juga dikenal sebagai pegawai Bea Cukai teladan, dengan rekam jejak yang rapi dan berdedikasi. Alumni Politeknik Keuangan Negara STAN ini sebelumnya menyelesaikan pendidikan S1 di bidang Ekonomi. Kini, ia sedang menempuh S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin, berkat beasiswa Komunikasi Digital (Komdigi) yang ia peroleh.

Menariknya, meski memiliki latar belakang ekonomi dan karier yang mapan di instansi pemerintah, Imran memilih jalur komunikasi sebagai ruang belajarnya. Baginya, mengelola media dan terjun di lapangan bersama warga adalah bagian penting dari perjalanan hidup yang ingin ia sempurnakan lewat pendidikan formal.

Snacknya Dipuji

Imran menjadi satu mahasiswa yang kencang start duluan di angkatannya yang maju ujian proposal. Di saat teman-temannya masih sibuk membenahi bab dua, ia sudah berdiri di depan para penguji. Ujian proposal yang ia angkat membahas strategi komunikasi di Bea Cukai, sebuah topik yang tidak dekat dengan aktivitasnya di Urbanpost.id (penulis tertawa kecil).


Suasana ujian yang semula tegang berubah menjadi cair ketika salah satu penguji memuji snack yang disediakan di ruang sidang. “sedang fokus menjelaskan metodologi, tiba-tiba penguji membisik, ‘Ini snacknya enak," ujian berjalan semakin lancar.

Ujian Ngebut, Kejar Waktu Salat

Imran sempat tergesa-gesa di saat menjawab pertanyaan ujian. Ia mengakui sholat dzuhur sedikit terlambat karena waktu ujian berlangsung, bertepepatan adzan dhuhur. “ujiannya ngebut, takut nggak keburu waktu salat,” ujarnya. Meskipun waktunya mepet, ia tetap tenang saat ujian, dan pertanyaan-pertanyaan dari penguji berhasil ia jawab dengan percaya diri.

Baginya, menjaga keseimbangan antara pekerjaan, kuliah, dan ibadah menjadi kunci agar semua bisa dilalui dengan baik. “Ujian ini bukan beban, tapi bagian dari perjalanan yang harus disyukuri,” tambahnya.

Umur 37 Tahun, Bukan Penghalang

Imran menjalani semua ini di usia 37 tahun, ketika sebagian teman-teman sekelasnya berusia jauh lebih muda. Namun, ia tetap menjadi mahasiswa pertama yang maju ujian proposal. “Banyak yang bilang saya duluan karena saya Dirut Urbanpost.id, padahal alasannya simpel, saya nggak mau nunggu terlalu lama,” ujarnya sambil tersenyum.

Menurut Imran, usianya justru jadi motivasi untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Ia ingin menjadi contoh bahwa kuliah lanjut bisa dimulai kapan saja, asal serius. “Kalau saya yang kerja sambil urus media bisa, teman-teman lain juga pasti bisa,” pesannya.





Urbanpost.id: Masih Hidup, Hanya Sedang Mengatur Nafas

Selama fokus menyusun proposal, Imran mengurangi intensitas produksi berita di Urbanpost.id. Namun, ia memastikan bahwa Urbanpost.id tidak mati, hanya sedang mengatur ulang nafas dan strategi. Media ini akan terus menjadi ruang terbuka bagi cerita warga, khususnya di wilayah yang selama ini jarang tersorot media besar.

“Urbanpost.id itu rumah warga, bukan rumah saya saja. Kalau saya sedang fokus kuliah, bukan berarti ceritanya berhenti. Justru ini bagian dari cerita itu sendiri,” tutup Imran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Motret dan Privasi: Jadi Fotografer Lari di CFD, Bolehkah Asal Jepret?

Ilustrasi aktivitas lari di GBK Buat kamu yang hobi motret dan bisa bangun pagi, jadi fotografer lari di acara Car Free Day (CFD) bisa jadi peluang cuan. tidak cuma soal foto-foto estetik pelari yang bisa dijual, tapi juga tentang interaksi yang unik antara kamera dan komunitas. Tapi di balik peluang ini, ada hal penting yang kadang luput dibahas: soal etika dan privasi pelari. Beberapa tahun terakhir, tren fotografer lari makin ramai, terutama di Jakarta atau Makassar. Spot seperti GBK dan sepanjang jalur CFD jadi “lapak” rutin para fotografer dadakan maupun profesional. Cukup bermodal kamera dan semangat bangun pagi, kamu sudah bisa mulai. Harga foto? Bisa tembus Rp30 ribu-Rp100 ribu per jepretan kalau hasilnya bagus. Cuan segelas kopi kekinian pun bisa langsung masuk dompet hanya dari satu klik shutter. Kini, dengan adanya aplikasi seperti Fotoyu , semuanya jadi makin mudah. Fotografer cukup unggah foto ke platform, sementara pelari tinggal scan wajah dan cari foto mereka sendiri....

Jam Terbang Tinggi, Jam Tidur Minim: Tantangan Pekerja Bandara yang Lanjut Studi

Resta di Tower ATC Raga di Kampus, Jiwa di Tower —  Kisah Resta Arga Santosa Makassar - Bagi sebagian orang, kuliah pascasarjana adalah fase naik kelas dalam karier. Tapi bagi Resta Arga Santosa , kuliah S2 justru terasa seperti menerbangkan dua pesawat sekaligus. satu bernama pekerjaan, satu lagi bernama pendidikan. Keduanya butuh konsentrasi penuh, namun waktu hanya 24 jam. Resta bukan mahasiswa biasa. Ia adalah petugas Air Traffic Controller (ATC) di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, salah satu profesi paling menegangkan di dunia penerbangan. Setiap hari, ia bertugas di menara pengawas (tower), memastikan puluhan pesawat bisa lepas landas dan mendarat dengan selamat. Jadwalnya tidak pasti, shift bergantian, dan kesalahan sekecil apa pun bisa berdampak besar. Namun, di tengah pekerjaan yang penuh tekanan itu, Resta mengambil keputusan besar: melanjutkan studi S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin . Bukan untuk gaya-gayaan. Ia ingin memperluas wawasan, memperdalam ca...

Pendidikan Tinggi ≠ Panai’ Tinggi: Citanya Perempuan S2 itu Cinta yang Setara

  Hanun dan Siti Nurul S2 Oleh: Siti Nurul Makassar – Di sela tumpukan jurnal dan lembar presentasi, aku dan Hanun kadang duduk berdua di sudut kantin kampus, membicarakan topik yang sama berulang kali: bagaimana pendidikan tinggi yang kami kejar ternyata tidak selalu membawa kami ke tempat yang diinginkan—terutama dalam urusan relasi. Bukan soal gelar. Tapi soal pandangan orang. “Sudah S2, jadi pasti panai’ tinggi, ya?” adalah kalimat yang lebih sering kami dengar dibanding, “Wah, keren ya lanjut studi!” Seolah pendidikan bukan untuk tumbuh, tapi untuk menaikkan ‘harga’ dalam proses perjodohan. Seolah kami adalah barang, dan gelar kami adalah label harga. Kami Hanya Ingin Belajar Kami masuk program magister bukan untuk gengsi. Aku ingin jadi pengajar di kampus. Hanun ingin membangun lembaga riset perempuan di desanya di Bone. Tapi jalan ke sana tidak selalu mulus, terutama jika dihadapkan pada tekanan sosial. “Saya pernah dekat dengan seseorang,” cerita Hanun suatu hari. “Ta...