Langsung ke konten utama

Menebak isi Kepala Mahasiswa Yang Nonton Konser Gema Kampus: ‘Terhibur dan Lupa Tugas’

Konser Kebangsaan Gema Kampus Unhas

Lapangan Sepak Bola Kampus Unhas Tamalanrea mendadak jadi lautan manusia pada Sabtu malam, 24 Mei 2025. Ribuan mahasiswa memadati area konser Festival Kebangsaan Generasi Emas (Gema) Kampus 2025. Musik mulai berdentum sejak pukul 19.00 hingga 22.00 WITA—malam Minggu yang biasanya diisi nonton drakor atau rebahan, kali ini berubah jadi malam penuh euforia dan semangat kebangsaan.

Kolaborasi musik tradisional dan lagu-lagu modern memanjakan telinga penonton, bikin lupa sejenak soal tugas kuliah yang menumpuk. Tapi jangan salah, di balik konser yang meriah ini, ada pesan mendalam tentang cinta Tanah Air.

Rektor Unhas, Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, membuka konser dengan ajakan reflektif: mengheningkan cipta mengenang para pahlawan dan terus menumbuhkan cinta pada Indonesia.
"Mari bersama melepaskan diri dari rutinitas, menikmati musik sambil menguatkan cinta pada bangsa," ujar Prof. JJ, disambut tepuk tangan ribuan mahasiswa.

Penampilan demi penampilan silih berganti, dari Sujiwo Tejo yang melantunkan syair cinta khasnya, hingga Dwiki Dharmawan yang memukau lewat kolaborasi dengan Ki Ageng Ganjur. Suasana makin pecah saat Once Mekel tampil membawakan lagu-lagu hits-nya. Suara ribuan penonton kompak bernyanyi, seolah seluruh isi kampus menyatu dalam satu irama.

"Saya senang bisa hadir di sini, semangat kalian membawa optimisme untuk Indonesia yang lebih baik," kata Once di sela penampilannya.

Konser ini bukan hanya jadi pelarian anak kost dari tugas kuliah, tapi juga pengingat bahwa mencintai negeri bisa dimulai dari menikmati musik—bersama, penuh rasa, dan tentu saja: gratis!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Motret dan Privasi: Jadi Fotografer Lari di CFD, Bolehkah Asal Jepret?

Ilustrasi aktivitas lari di GBK Buat kamu yang hobi motret dan bisa bangun pagi, jadi fotografer lari di acara Car Free Day (CFD) bisa jadi peluang cuan. tidak cuma soal foto-foto estetik pelari yang bisa dijual, tapi juga tentang interaksi yang unik antara kamera dan komunitas. Tapi di balik peluang ini, ada hal penting yang kadang luput dibahas: soal etika dan privasi pelari. Beberapa tahun terakhir, tren fotografer lari makin ramai, terutama di Jakarta atau Makassar. Spot seperti GBK dan sepanjang jalur CFD jadi “lapak” rutin para fotografer dadakan maupun profesional. Cukup bermodal kamera dan semangat bangun pagi, kamu sudah bisa mulai. Harga foto? Bisa tembus Rp30 ribu-Rp100 ribu per jepretan kalau hasilnya bagus. Cuan segelas kopi kekinian pun bisa langsung masuk dompet hanya dari satu klik shutter. Kini, dengan adanya aplikasi seperti Fotoyu , semuanya jadi makin mudah. Fotografer cukup unggah foto ke platform, sementara pelari tinggal scan wajah dan cari foto mereka sendiri....

Jam Terbang Tinggi, Jam Tidur Minim: Tantangan Pekerja Bandara yang Lanjut Studi

Resta di Tower ATC Raga di Kampus, Jiwa di Tower —  Kisah Resta Arga Santosa Makassar - Bagi sebagian orang, kuliah pascasarjana adalah fase naik kelas dalam karier. Tapi bagi Resta Arga Santosa , kuliah S2 justru terasa seperti menerbangkan dua pesawat sekaligus. satu bernama pekerjaan, satu lagi bernama pendidikan. Keduanya butuh konsentrasi penuh, namun waktu hanya 24 jam. Resta bukan mahasiswa biasa. Ia adalah petugas Air Traffic Controller (ATC) di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, salah satu profesi paling menegangkan di dunia penerbangan. Setiap hari, ia bertugas di menara pengawas (tower), memastikan puluhan pesawat bisa lepas landas dan mendarat dengan selamat. Jadwalnya tidak pasti, shift bergantian, dan kesalahan sekecil apa pun bisa berdampak besar. Namun, di tengah pekerjaan yang penuh tekanan itu, Resta mengambil keputusan besar: melanjutkan studi S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin . Bukan untuk gaya-gayaan. Ia ingin memperluas wawasan, memperdalam ca...

Pendidikan Tinggi ≠ Panai’ Tinggi: Citanya Perempuan S2 itu Cinta yang Setara

  Hanun dan Siti Nurul S2 Oleh: Siti Nurul Makassar – Di sela tumpukan jurnal dan lembar presentasi, aku dan Hanun kadang duduk berdua di sudut kantin kampus, membicarakan topik yang sama berulang kali: bagaimana pendidikan tinggi yang kami kejar ternyata tidak selalu membawa kami ke tempat yang diinginkan—terutama dalam urusan relasi. Bukan soal gelar. Tapi soal pandangan orang. “Sudah S2, jadi pasti panai’ tinggi, ya?” adalah kalimat yang lebih sering kami dengar dibanding, “Wah, keren ya lanjut studi!” Seolah pendidikan bukan untuk tumbuh, tapi untuk menaikkan ‘harga’ dalam proses perjodohan. Seolah kami adalah barang, dan gelar kami adalah label harga. Kami Hanya Ingin Belajar Kami masuk program magister bukan untuk gengsi. Aku ingin jadi pengajar di kampus. Hanun ingin membangun lembaga riset perempuan di desanya di Bone. Tapi jalan ke sana tidak selalu mulus, terutama jika dihadapkan pada tekanan sosial. “Saya pernah dekat dengan seseorang,” cerita Hanun suatu hari. “Ta...