Langsung ke konten utama

Kenapa Tugas Bisa Kelar Meski Ngopi Sendirian di Kafe? Ini Alasannya

 


Kerja tugas sambil ngopi

Di tengah hiruk-pikuk Kota Makassar yang selalu hidup dari pagi sampai malam, ada satu tempat yang kini jadi pelarian banyak orang saat butuh fokus: kafe. Uniknya, meski banyak orang datang untuk nongkrong, tak sedikit pula yang memilih duduk sendirian. Dan percaya atau tidak, di sinilah tugas-tugas justru cepat selesai.

1. Ngopi Sendirian? Bukan Masalah, Justru Solusi

Di Makassar, budaya ngopi itu sudah kayak bagian dari identitas kota. Dari warung kopi di pinggir jalan sampai kafe kekinian di Panakkukang atau Losari, semua ramai. Tapi, beda cerita kalau kamu datang sendiri. Banyak yang merasa aneh atau bahkan dikasih pandangan “ngapain sendirian?”, padahal justru di situlah letak ketenangannya.

2. Ajak Teman? Bikin Distraksi

Pernah tidak, niatnya mau produktif, eh, ajak teman ngopi malah jadi sesi curhat panjang atau debat politik? Apalagi kalau harus tunggu mereka siap dulu, bisa-bisa tugas udah lewat deadline. Di titik ini, saya sadar: produktif itu butuh ruang, bukan keramaian.

3. Suasana Kafe = Mood Booster

Kafe di Makassar punya atmosfer khas, dari wangi kopi, dentingan gelas, hingga alunan musik yang pelan-pelan mengangkat mood. Di rumah, gangguan bisa datang dari mana saja: keluarga, grup WhatsApp, atau suara palu tetangga. Di kafe, fokus saya malah meningkat. Bahkan ide-ide tulisan atau solusi tugas sering muncul tiba-tiba
.

4. Tekanan Waktu yang Bikin Fokus

Saat nongkrong sendiri di kafe, kita sadar: waktu itu uang. Semakin lama duduk, semakin banyak yang dipesan. Jadi, secara nggak sadar otak menuntut kita untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Apalagi kalau cuma bawa laptop, charger, dan headset. Satu jam harus kelar. Efisien, kan?

5. Bebas dari Gangguan Rumah

Belajar di rumah kadang bikin frustrasi. Mau baca buku, baru dua halaman sudah terdistraksi. Mau ngerjain tugas, eh, malah ikut nimbrung nonton sinetron. Suasana di kafe memberikan nuansa "keluar rumah" tapi tetap aman dan nyaman untuk belajar. Di masa pasca-pandemi seperti sekarang, banyak kafe juga sudah menerapkan protokol ketat—jadi nggak perlu khawatir.

6. Nggak Perlu Peduli Omongan Orang

Kalau ada yang menganggap aneh orang ngopi sendirian, ya sudah. Kita bukan datang buat nyari validasi, tapi nyari ketenangan. Justru dari duduk sendiri inilah kita bisa lebih kenal diri sendiri, fokus, dan bahkan kadang ketemu ide-ide cemerlang. Mau dibilang antisosial? Silakan. Yang penting tugas kelar, otak segar.

Jadi, buat warga Makassar, terutama mahasiswa, pekerja freelance, atau siapa pun yang sering kebut tugas, jangan ragu untuk ke kafe sendirian. Bukan cuma tempat nongkrong, kafe bisa jadi ruang kerja alternatif yang nyaman dan produktif

Penulis: Haeril Anwar

Editor: Firmansyah Atjo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Motret dan Privasi: Jadi Fotografer Lari di CFD, Bolehkah Asal Jepret?

Ilustrasi aktivitas lari di GBK Buat kamu yang hobi motret dan bisa bangun pagi, jadi fotografer lari di acara Car Free Day (CFD) bisa jadi peluang cuan. tidak cuma soal foto-foto estetik pelari yang bisa dijual, tapi juga tentang interaksi yang unik antara kamera dan komunitas. Tapi di balik peluang ini, ada hal penting yang kadang luput dibahas: soal etika dan privasi pelari. Beberapa tahun terakhir, tren fotografer lari makin ramai, terutama di Jakarta atau Makassar. Spot seperti GBK dan sepanjang jalur CFD jadi “lapak” rutin para fotografer dadakan maupun profesional. Cukup bermodal kamera dan semangat bangun pagi, kamu sudah bisa mulai. Harga foto? Bisa tembus Rp30 ribu-Rp100 ribu per jepretan kalau hasilnya bagus. Cuan segelas kopi kekinian pun bisa langsung masuk dompet hanya dari satu klik shutter. Kini, dengan adanya aplikasi seperti Fotoyu , semuanya jadi makin mudah. Fotografer cukup unggah foto ke platform, sementara pelari tinggal scan wajah dan cari foto mereka sendiri....

Jam Terbang Tinggi, Jam Tidur Minim: Tantangan Pekerja Bandara yang Lanjut Studi

Resta di Tower ATC Raga di Kampus, Jiwa di Tower —  Kisah Resta Arga Santosa Makassar - Bagi sebagian orang, kuliah pascasarjana adalah fase naik kelas dalam karier. Tapi bagi Resta Arga Santosa , kuliah S2 justru terasa seperti menerbangkan dua pesawat sekaligus. satu bernama pekerjaan, satu lagi bernama pendidikan. Keduanya butuh konsentrasi penuh, namun waktu hanya 24 jam. Resta bukan mahasiswa biasa. Ia adalah petugas Air Traffic Controller (ATC) di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, salah satu profesi paling menegangkan di dunia penerbangan. Setiap hari, ia bertugas di menara pengawas (tower), memastikan puluhan pesawat bisa lepas landas dan mendarat dengan selamat. Jadwalnya tidak pasti, shift bergantian, dan kesalahan sekecil apa pun bisa berdampak besar. Namun, di tengah pekerjaan yang penuh tekanan itu, Resta mengambil keputusan besar: melanjutkan studi S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin . Bukan untuk gaya-gayaan. Ia ingin memperluas wawasan, memperdalam ca...

Pendidikan Tinggi ≠ Panai’ Tinggi: Citanya Perempuan S2 itu Cinta yang Setara

  Hanun dan Siti Nurul S2 Oleh: Siti Nurul Makassar – Di sela tumpukan jurnal dan lembar presentasi, aku dan Hanun kadang duduk berdua di sudut kantin kampus, membicarakan topik yang sama berulang kali: bagaimana pendidikan tinggi yang kami kejar ternyata tidak selalu membawa kami ke tempat yang diinginkan—terutama dalam urusan relasi. Bukan soal gelar. Tapi soal pandangan orang. “Sudah S2, jadi pasti panai’ tinggi, ya?” adalah kalimat yang lebih sering kami dengar dibanding, “Wah, keren ya lanjut studi!” Seolah pendidikan bukan untuk tumbuh, tapi untuk menaikkan ‘harga’ dalam proses perjodohan. Seolah kami adalah barang, dan gelar kami adalah label harga. Kami Hanya Ingin Belajar Kami masuk program magister bukan untuk gengsi. Aku ingin jadi pengajar di kampus. Hanun ingin membangun lembaga riset perempuan di desanya di Bone. Tapi jalan ke sana tidak selalu mulus, terutama jika dihadapkan pada tekanan sosial. “Saya pernah dekat dengan seseorang,” cerita Hanun suatu hari. “Ta...