Sejak diberlakukannya regulasi baru dalam pendidikan tinggi, mahasiswa magister tak hanya dituntut untuk menyelesaikan tesis, tetapi juga harus mengonversi hasil riset mereka ke dalam bentuk publikasi internasional. Sebuah capaian prestisius, tentu. Namun bagi banyak mahasiswa, terutama yang belum akrab dengan dunia akademik global, ini menjadi tantangan yang penuh tekanan.
"Menulis untuk jurnal Scopus itu seperti berlari maraton tanpa peta," Bukan cuma soal bahasa dan metodologi, tapi juga tekanan untuk harus accepted sebelum yudisium."
Kegiatan workshop ini menjadi salah satu ikhtiar kolektif untuk menjembatani harapan dan kenyataan. Para dosen membuka ruang diskusi yang hangat, membimbing satu per satu mahasiswa agar tak tersesat dalam hutan rimba publikasi. Namun waktu terus berjalan, dan deadline semakin dekat.
Di balik pose kompak dan senyum semangat dalam foto ini, ada lembur malam demi revisi, ada rasa minder membaca karya akademisi dunia, dan ada perjuangan sunyi menaklukkan desk rejection berkali-kali. Bagi sebagian, publikasi Scopus bukan hanya kewajiban akademik—ia adalah titik ukur antara berhasil atau tidaknya mimpi pendidikan tinggi mereka.
Narasi ini bukan untuk meratapi kebijakan, melainkan untuk menunjukkan bahwa setiap mahasiswa pascasarjana bukan hanya pelajar, tapi juga pejuang literasi ilmiah. Mereka bukan sekadar mengejar gelar, tapi juga membangun jembatan pengetahuan Indonesia di pentas dunia.
Komentar