Langsung ke konten utama

Bingungnya Cari Hunian yang Pas Untuk Kaum Mendang-Mending, Mending Pilih Tallasa City

Rumah di Tallasa City


Makassar – “Satu rumah, lokasi strategis, lingkungan aman, desain modern, tapi harga juga masuk akal.” Kalimat itu terdengar seperti mimpi di tengah realitas kaum urban yang sedang gencar berburu rumah. Apalagi bagi mereka yang termasuk kategori kaum mendang-mending—mereka yang terus membandingkan, menimbang, dan sering berakhir tidak jadi beli karena tak kunjung ‘sreg’.

Tapi di antara dilema lokasi jauh tapi murah, atau dekat tapi sempit, kompleks Tallasa City muncul sebagai opsi yang mulai mencuri perhatian. Letaknya di utara Makassar, dengan akses yang terkoneksi ke pusat kota lewat tol dan jalan arteri, kawasan ini menawarkan hunian yang tidak hanya ramah dompet, tapi juga ramah psikologis.

Tak Sekadar Rumah, Tapi Lingkungan

Nida (25 tahun), seorang mahasiswi, mengaku telah melihat lebih dari 15 lokasi perumahan sebelum akhirnya memilih Tallasa City. “Awalnya saya skeptis, takut zonanya terlalu ramai atau kurang nyaman. Tapi begitu masuk, lihat jalanan bersih, anak-anak main tanpa khawatir mobil ngebut, saya langsung mikir, ‘mending di sini’,” katanya sambil tertawa.

Kompleks ini didesain dengan pendekatan modern, tanpa pagar tinggi antar rumah, taman-taman kecil di beberapa titik, dan pedestrian yang rapi. Konsep ini memang tidak biasa di Makassar, tapi justru itulah daya tariknya. Rasa aman bukan karena pagar tinggi, tapi karena komunitas yang saling kenal.

Harga Masuk Akal, Fasilitas Lumayan

Untuk kaum mendang-mending, harga tentu jadi pertimbangan utama. Di Tallasa City, harga rumah tergolong kompetitif dibanding perumahan dalam kota yang padat. Dengan cicilan yang bersahabat, pembeli sudah bisa mendapatkan rumah dua lantai, jalanan kompleks yang lebar, dan fasilitas umum seperti masjid, taman bermain, hingga sistem keamanan terpadu.

Bukan hanya itu, pengembang juga rutin mengadakan event komunitas: bazar makanan lokal, lomba 17-an, hingga kelas senam pagi. Semua ini menjadi bonus yang kadang tak terlihat di brosur, tapi terasa saat tinggal di dalamnya.

Bagi yang Masih Galau, Ini Alternatif Waras

Di luar Tallasa City, pilihan rumah memang banyak. Tapi tak sedikit yang akhirnya menyesal: lokasi terlalu jauh dari tempat kerja, lingkungan tidak terawat, atau suasana yang terlalu tertutup. Inilah kenapa semakin banyak keluarga muda, pasangan baru menikah, hingga pekerja milenial yang akhirnya “menyerah” dan memilih Tallasa City sebagai opsi paling masuk akal.

“Ini rumah pertama saya. Dan sejauh ini, saya nggak merasa salah pilih,” kata Risca (36 tahun), seorang pengusaha daring. “Saya juga tipe mendang-mending, tapi kali ini saya berhenti membandingkan.”

Penutup: Mending Cari yang Seimbang

Tinggal di kota besar seperti Makassar selalu penuh kompromi. Tapi bukan berarti tak ada tempat yang bisa memberi keseimbangan antara harga, kualitas, dan kenyamanan. Untuk kaum mendang-mending yang lelah membandingkan, mungkin Tallasa City bukan yang sempurna, tapi cukup untuk membuatmu berhenti cari yang lain.

Di saat pilihan makin membingungkan, kadang yang dibutuhkan hanyalah hunian yang tenang, tetangga yang ramah, dan udara sore yang bisa dinikmati tanpa pagar tinggi menghalangi pandangan.

Penulis: Hanun Dzikra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Terbang Tinggi, Jam Tidur Minim: Tantangan Pekerja Bandara yang Lanjut Studi

Resta di Tower ATC Raga di Kampus, Jiwa di Tower —  Kisah Resta Arga Santosa Makassar - Bagi sebagian orang, kuliah pascasarjana adalah fase naik kelas dalam karier. Tapi bagi Resta Arga Santosa , kuliah S2 justru terasa seperti menerbangkan dua pesawat sekaligus. satu bernama pekerjaan, satu lagi bernama pendidikan. Keduanya butuh konsentrasi penuh, namun waktu hanya 24 jam. Resta bukan mahasiswa biasa. Ia adalah petugas Air Traffic Controller (ATC) di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, salah satu profesi paling menegangkan di dunia penerbangan. Setiap hari, ia bertugas di menara pengawas (tower), memastikan puluhan pesawat bisa lepas landas dan mendarat dengan selamat. Jadwalnya tidak pasti, shift bergantian, dan kesalahan sekecil apa pun bisa berdampak besar. Namun, di tengah pekerjaan yang penuh tekanan itu, Resta mengambil keputusan besar: melanjutkan studi S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin . Bukan untuk gaya-gayaan. Ia ingin memperluas wawasan, memperdalam ca...

Sulitnya Cari Outfit dan Pose Itu-Itu Saja, Langkanya Foto Angkatan Jadi Istimewa

  Foto angkatan S2 Komunikasi Unhas S2 Ilmu Komunikasi Unhas Angkatan 2024 (1), Semester Akhir Abadikan Momen Langka Bersama Makassar – Ada yang menyetrika kemeja sejak malam sebelumnya, ada yang baru pinjam kemeja putih saat di kampus. Di antara berbagai kesibukan akademik dan pekerjaan, mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin akhirnya berkumpul lengkap dalam satu momen langka: foto angkatan . Diambil pada penghujung semester kedua, sesi foto ini menjadi salah satu dari sedikit waktu di mana seluruh mahasiswa angkatan 2023/2024 bisa berkumpul secara langsung. Mengingat masa studi yang hanya berlangsung dua semester dengan jadwal yang padat dan pertemuan yang jarang, sesi ini menjadi momen yang tidak sekadar simbolis, tapi juga emosional. Dibalik Seragam yang Tak Seragam Panitia telah menentukan warna pakaian: atasan beige dan bawahan putih. Namun rupanya, menentukan seragam tidak semudah menyebutkan warna. “Beige itu definisinya bisa beda-beda. Ada yang terlalu ge...

Pendidikan Tinggi ≠ Panai’ Tinggi: Citanya Perempuan S2 itu Cinta yang Setara

  Hanun dan Siti Nurul S2 Oleh: Siti Nurul Makassar – Di sela tumpukan jurnal dan lembar presentasi, aku dan Hanun kadang duduk berdua di sudut kantin kampus, membicarakan topik yang sama berulang kali: bagaimana pendidikan tinggi yang kami kejar ternyata tidak selalu membawa kami ke tempat yang diinginkan—terutama dalam urusan relasi. Bukan soal gelar. Tapi soal pandangan orang. “Sudah S2, jadi pasti panai’ tinggi, ya?” adalah kalimat yang lebih sering kami dengar dibanding, “Wah, keren ya lanjut studi!” Seolah pendidikan bukan untuk tumbuh, tapi untuk menaikkan ‘harga’ dalam proses perjodohan. Seolah kami adalah barang, dan gelar kami adalah label harga. Kami Hanya Ingin Belajar Kami masuk program magister bukan untuk gengsi. Aku ingin jadi pengajar di kampus. Hanun ingin membangun lembaga riset perempuan di desanya di Bone. Tapi jalan ke sana tidak selalu mulus, terutama jika dihadapkan pada tekanan sosial. “Saya pernah dekat dengan seseorang,” cerita Hanun suatu hari. “Ta...