Langsung ke konten utama

Menulis Ulang Skripsi Saja Mual, Kok ada Orang Mau Tulis Ulang Sejarah?



Olah gambar Pinterest


Ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut perdebatan publik terkait rencana penulisan ulang sejarah sebagai "pepesan kosong", banyak pihak terkejut. Pernyataan ini dianggap meremehkan kekhawatiran masyarakat, dan mencerminkan kecenderungan menutup ruang dialog dalam isu yang seharusnya inklusif.


tidak melibatkan publik, dan dijalankan oleh segelintir elite politik—bukankah justru berisiko mengaburkan fakta, alih-alih meluruskannya?

Dalam negara demokratis, terutama saat menyentuh isu sejarah—yang menjadi identitas kolektif bangsa—diskusi terbuka justru sangat penting. Sejarah bukan milik negara atau kekuasaan tertentu, melainkan milik rakyat secara keseluruhan. Maka, proyek penulisan ulang sejarah Indonesia seharusnya menjadi ruang kerja kolaboratif lintas disiplin dan generasi.

Penulisan sejarah bisa diterima jika bertujuan meluruskan narasi yang timpang atau menghadirkan suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan. Namun jika dilakukan secara tertutup, sepihak, dan hanya memperkuat legitimasi politik, maka bukan kebenaran historis yang didapat, melainkan propaganda baru.

Pernyataan Fadli Zon bahwa publik sebaiknya menunggu sampai naskah sejarah rampung 70–80 persen sebelum berdiskusi, justru bertentangan dengan semangat keterbukaan. Dalam praktik akademik, justru kritik dan partisipasi publik di tahap awal adalah yang membuat proses historis menjadi sehat dan reflektif.

Kekhawatiran yang muncul adalah sejarah kembali ditulis hanya oleh “pemenang”, seperti masa Orde Baru yang menyisihkan pengalaman korban dan menciptakan narasi tunggal. Jika ini terulang, maka penulisan ulang sejarah bukan lagi proyek keilmuan, tetapi justru menjadi alat pembenaran kekuasaan.

Apa yang Sebenarnya Sedang Diubah?

Hingga kini, belum ada penjelasan terbuka dari pemerintah mengenai isi dan arah dari proyek penulisan ulang sejarah ini. Apakah yang ingin diubah menyangkut narasi tentang G30S? Atau barangkali menyentuh masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi? Atau malah bertujuan untuk membentuk konstruksi sejarah baru yang lebih luas? Tanpa keterbukaan informasi, wajar jika publik mulai curiga bahwa agenda ini menyimpan kepentingan tertentu.

Padahal, lembaga seperti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dan Arsip Nasional memiliki koleksi data sejarah yang dapat diakses publik. Namun jika proses ini justru dikendalikan oleh aktor-aktor politik dengan kepentingan, bukan komunitas sejarawan independen, maka niat baik menulis ulang sejarah akan kehilangan legitimasi.

Bagaimana Seharusnya Publik Dilibatkan?

Jika pemerintah ingin menjadikan sejarah sebagai milik bersama, pelibatan masyarakat harus dilakukan secara nyata, bukan hanya simbolis. Beberapa langkah penting yang seharusnya dilakukan meliputi:

  1. Membentuk Komite Sejarah Independen - terdiri dari akademisi lintas universitas, budayawan, sejarawan, dan perwakilan masyarakat sipil yang tak memiliki konflik kepentingan.

  2. Membuka Draf Penulisan untuk Tanggapan Publik - transparansi dalam penyusunan akan memperkaya isi dan memperkuat keabsahan isi sejarah.

  3. Melakukan Konsultasi Regional - untuk menghimpun narasi dari daerah-daerah yang selama ini kurang mendapatkan ruang dalam sejarah nasional.

  4. Membuka Akses ke Arsip Sejarah - agar seluruh pihak, termasuk peneliti dan publik, bisa menelusuri kebenaran sejarah secara mandiri.

  5. Menjamin Kebebasan Akademik - pemerintah tidak boleh menindak narasi sejarah alternatif atau mengkriminalisasi pandangan yang berbeda.

Belajar dari Negara Lain: Sejarah Bukan Milik Elite

Beberapa negara telah melalui proses penulisan ulang sejarah dengan prinsip kejujuran dan keterbukaan, tanpa menutupi masa lalu kelam mereka.

  • Jerman, pasca-rezim Nazi, melaksanakan Vergangenheitsbewältigung, sebuah proses nasional untuk menghadapi sejarah mereka secara kritis. Mereka mengakui peran negara dalam Holocaust, membuka museum, dan merevisi kurikulum pendidikan agar generasi baru tidak melupakan tragedi tersebut. Penulisan ulang sejarah dilakukan melalui riset independen, melibatkan kampus, komunitas korban, hingga lembaga HAM. Bahkan, menyangkal Holocaust dianggap sebagai pelanggaran hukum.

  • Afrika Selatan, setelah era apartheid, membentuk Truth and Reconciliation Commission di bawah Uskup Desmond Tutu. Komisi ini mendengarkan kesaksian korban dan pelaku secara terbuka, menyiarkannya di media nasional, dan menjadikan sejarah sebagai ruang penyembuhan bersama, bukan milik pemerintah semata.

  • Korea Selatan, yang pernah menutup-nutupi Tragedi Gwangju 1980, akhirnya membuka dokumen, menyesuaikan kurikulum, memberi pengakuan dan kompensasi kepada korban. Semua itu dilakukan bersama akademisi dan keluarga korban.

Sejarah adalah Cermin Bangsa

Dalam pandangan filosofis, sejarah adalah cermin identitas sebuah bangsa. Jika kita menulis sejarah dengan lensa yang kabur atau menyembunyikan masa lalu, kita hanya akan menciptakan bayangan palsu dari diri kita sendiri.

Penulisan ulang sejarah memang penting, tapi bukan berarti menyingkirkan kritik dan suara-suara berbeda. Sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon seharusnya menjadi pelopor keterbukaan dan diskusi publik, bukan menutup ruangnya dengan menyebut keresahan masyarakat sebagai “pepesan kosong”.

Sejarah seharusnya bukan disusun di ruang tertutup oleh segelintir elite, tapi dibentuk lewat proses terbuka, diverifikasi oleh data, dan dirumuskan bersama masyarakat.

Seperti yang pernah diingatkan oleh filsuf George Santayana, “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.” Dan kita, sebagai bangsa, tidak boleh lagi mengulang sejarah yang direkayasa dan dibungkam.

Ditulis: Sultan Ali Amar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Terbang Tinggi, Jam Tidur Minim: Tantangan Pekerja Bandara yang Lanjut Studi

Resta di Tower ATC Raga di Kampus, Jiwa di Tower —  Kisah Resta Arga Santosa Makassar - Bagi sebagian orang, kuliah pascasarjana adalah fase naik kelas dalam karier. Tapi bagi Resta Arga Santosa , kuliah S2 justru terasa seperti menerbangkan dua pesawat sekaligus. satu bernama pekerjaan, satu lagi bernama pendidikan. Keduanya butuh konsentrasi penuh, namun waktu hanya 24 jam. Resta bukan mahasiswa biasa. Ia adalah petugas Air Traffic Controller (ATC) di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, salah satu profesi paling menegangkan di dunia penerbangan. Setiap hari, ia bertugas di menara pengawas (tower), memastikan puluhan pesawat bisa lepas landas dan mendarat dengan selamat. Jadwalnya tidak pasti, shift bergantian, dan kesalahan sekecil apa pun bisa berdampak besar. Namun, di tengah pekerjaan yang penuh tekanan itu, Resta mengambil keputusan besar: melanjutkan studi S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin . Bukan untuk gaya-gayaan. Ia ingin memperluas wawasan, memperdalam ca...

Sulitnya Cari Outfit dan Pose Itu-Itu Saja, Langkanya Foto Angkatan Jadi Istimewa

  Foto angkatan S2 Komunikasi Unhas S2 Ilmu Komunikasi Unhas Angkatan 2024 (1), Semester Akhir Abadikan Momen Langka Bersama Makassar – Ada yang menyetrika kemeja sejak malam sebelumnya, ada yang baru pinjam kemeja putih saat di kampus. Di antara berbagai kesibukan akademik dan pekerjaan, mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin akhirnya berkumpul lengkap dalam satu momen langka: foto angkatan . Diambil pada penghujung semester kedua, sesi foto ini menjadi salah satu dari sedikit waktu di mana seluruh mahasiswa angkatan 2023/2024 bisa berkumpul secara langsung. Mengingat masa studi yang hanya berlangsung dua semester dengan jadwal yang padat dan pertemuan yang jarang, sesi ini menjadi momen yang tidak sekadar simbolis, tapi juga emosional. Dibalik Seragam yang Tak Seragam Panitia telah menentukan warna pakaian: atasan beige dan bawahan putih. Namun rupanya, menentukan seragam tidak semudah menyebutkan warna. “Beige itu definisinya bisa beda-beda. Ada yang terlalu ge...

Pendidikan Tinggi ≠ Panai’ Tinggi: Citanya Perempuan S2 itu Cinta yang Setara

  Hanun dan Siti Nurul S2 Oleh: Siti Nurul Makassar – Di sela tumpukan jurnal dan lembar presentasi, aku dan Hanun kadang duduk berdua di sudut kantin kampus, membicarakan topik yang sama berulang kali: bagaimana pendidikan tinggi yang kami kejar ternyata tidak selalu membawa kami ke tempat yang diinginkan—terutama dalam urusan relasi. Bukan soal gelar. Tapi soal pandangan orang. “Sudah S2, jadi pasti panai’ tinggi, ya?” adalah kalimat yang lebih sering kami dengar dibanding, “Wah, keren ya lanjut studi!” Seolah pendidikan bukan untuk tumbuh, tapi untuk menaikkan ‘harga’ dalam proses perjodohan. Seolah kami adalah barang, dan gelar kami adalah label harga. Kami Hanya Ingin Belajar Kami masuk program magister bukan untuk gengsi. Aku ingin jadi pengajar di kampus. Hanun ingin membangun lembaga riset perempuan di desanya di Bone. Tapi jalan ke sana tidak selalu mulus, terutama jika dihadapkan pada tekanan sosial. “Saya pernah dekat dengan seseorang,” cerita Hanun suatu hari. “Ta...